Nikmat Terbaik Allaah

Terkadang, saya tidak bisa paham betapa baiknya Allaah swt. Terlalu banyak nikmat yang Allaah swt limpahkan hingga dengan mengingatnya saja, tidak mampu mata ini menahan air mata haru. Terlalu banyak nikmat yang Allaah swt limpahkan, hingga ketika Fahmi bertanya kenapa saya menangis saja, saya tidak sanggup menjawabnya dan malah makin tersedu.
Suami yang begitu dewasa dan pengertian, tempat tinggal yang nyaman, makan yang selalu tersedia, kendaraan yang tidak pernah kehabisan bahan bakar, tinggal di kota yang begitu kondusif, tokoh-tokoh yang dekat dan terbuka untuk berbagi ilmu, buku-buku yang bergizi, tetangga-tetangga yang menyayangi kami, orangtua yang selalu mendukung kami, mertua yang dapat selalu menjadi panutan, sahabat-sahabat yang selalu hadir di kala susah maupun senang, seems banyak sekali nikmat yang Allaah swt berikan.
Di atas itu semua, ada lagi satu nikmat yang begitu agung dan paling deras air mata mengalir kala mengingatnya. Yakni adalah nikmat iman. 
***
Baru saja semalam saya dan Fahmi membahas tafsir surat Al-Baqarah ayat 14 hingga 16 dalam Ma’had Lail kami. Ayat-ayat tersebut membahas tentang ciri-ciri orang munafik. Bahwa, orang munafik itu adalah mereka yang merugi dalam perdagangannya dengan Allaah swt.
 “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: ‘Kami telah beriman’. Sementara bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: ’Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok’. Allah akan (membalas) olokan-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.”
Katakanlah hidup ini adalah sebuah transaksi jual-beli dengan Allaah swt. Kita ‘membeli’ akhirat dengan ‘jualan’ amal kita di dunia. Kita semua memiliki starting point atau modal yang sama kala dilahirkan. Tapi kemudian, ‘respon’ kita terhadap hidayah-lah yang akan menentukan modal kita berkembang menjadi investasi terbaik di akhirat kelak atau justru merugi serugi-ruginya.
Orang munafik boleh jadi adalah orang yang ‘tampak’ beriman. Mereka ‘tampak’ memanfaatkan modalnya dengan begitu baik untuk kehidupan akhiratnya. Tapi di belakang, mereka ‘mengkhianati’ Allaah swt dengan memusuhi agama Allaah. Memusuhi ini berarti ingkar terhadap apa yang Allaah swt perintahkan dan larang untuk kita lakukan. Manifestasi kemunafikan bisa macam-macam. Misal mengaku Islam tetapi malas shalat, mengaku Islam, tapi rajin korupsi, mengaku Islam, tapi kerjaannya titip absen melulu, mengaku Islam, tapi kerjaannya mengadu domba dan memecah belah umat, mengaku Islam, tapi lisan dan tangannya membahayakan saudaranya, mengaku Islam, tapi malah membantu musuh-musuh Allaah swt.
Orang munafik ini, terombang-ambing hidupnya. Mereka adalah orang yang bingung. Orang munafik boleh jadi mengaku beriman dengan lisan mereka, tapi hati dan perbuatan mereka tidak mencerminkan keimanan mereka. Di depan orang-orang beriman, mereka mengaku beriman. Sedangkan berhadapan dengan setan dalam bentuk manusia maupun dalam bentuk jin, mereka mengaku sebagai sekutunya. Perbedaan muka ini membuat mereka sering berbohong untuk menutupi kebohongan-kebohongan lainnya.  Mereka merasa mendapatkan ‘untung’ di dunia maupun di ‘akhirat’, tapi pada hakikatnya, mereka adalah orang yang bingung memilih mana yang terbaik untuk dirinya. Sehingga, akibat kebingungannya tersebut, ia semakin tenggelam dalam kesesatan tanpa sadar, dan menjadi orang yang merugi serugi-ruginya. Karena amalan-amalan yang mereka lakukan, pada akhirnya tidak ‘laku’ untuk ‘membeli’ surga. Na’udzubillaahi min dzalik.
***
Maka kemudian, adalah sebuah kenikmatan yang begitu besar kala Allaah swt memberikan kemudahan dalam memanifestasikan iman. Karena manifestasi keimanan itulah harta yang paling berharga di atas harta apapun yang ada di dunia ini. Kalau kata Raihan dalam nasyidnya,
“Iman tak dapat diwarisi
Dari seorang ayah yang bertaqwa
Ia tak dapat dijual-beli
Ia tiada di tepian pantai
Walau apapun caranya jua
Engkau mendaki gunung yang tinggi
Engkau berentas lautan api
Namun tak dapat jua dimiliki
Jika tidak kembali pada Allah”
(Lagunya disini)
Fahmi juga sering bilang,
“Kalau iman adalah perkara siapa yang paling banyak hartanya, maka para konglomerat adalah orang yang paling tinggi imannya. Kalau  iman adalah perkara siapa yang paling cantik/ganteng wajahnya, maka para artis adalah orang yang paling tinggi imannya. Kalau iman adalah perkara siapa yang paling kuat fisiknya, maka para binaragawan adalah orang yang paling tinggi imannya. Kalau iman adalah perkara siapa yang paling banyak ilmunya, maka para profesor adalah orang yang paling tinggi imannya. Tapi kenyataannya, itu semua bukan jaminan. Ada orang miskin, buruk rupa, tapi kadang derajatnya lebih mulia di sisi Allaah swt dibanding konglomerat paling kaya sejagad raya”.
Bahkan seorang Abdullaah Ibnu Ummi Maktum RA, seorang laki-laki buta dari kalangan proletar, Allaah swt angkat derajatnya setara dengan Mush’ab Ibnu Umair, pemuda ganteng dan terkaya di Makkah. Mereka berdua bersama-sama menjadi duta Islam untuk berdakwah di Madinah. Atas hal apa Allaah swt memuliakannya? Allaah swt muliakan Abdullah Ibnu Ummi Maktum karena ia menjemput hidayah kepada Rasulullaah saw. Bahkan, kedatangannya diabaikan oleh Rasulullaah saw yang sedang sibuk mendakwahi para tokoh dan pembesar Quraisy. Abdullaah Ibnu Ummi Maktum yang merupakan lelaki buta dan proletar tak ada bandingnya. Namun, Allaah swt menegur Rasulullaah saw dengan keras sebagaimana diabadikan dalam surat ‘Abasa. Allaah swt muliakan Abdullaah Ibnu Ummi Maktum di atas para pembesar Quraisy karena dia menjemput keimanan.
Maka, kembali lagi, nikmat iman adalah nikmat yang paling saya syukuri sampai detik ini. Saya tidak menangis haru karena memiliki suami yang calon dokter atau hobi ngegombal, tapi saya menangis sejadi-jadinya menyadari suami saya mampu mengajari saya agama dan mengingatkan kala saya lalai. Saya tidak menangis haru karena tinggal di kamar yang nyaman, tapi saya menangis sejadi-jadinya menyadari begitu mudah saya dapat sholat berjamaah di masjid dan mendengarkan kalam Allaah didengungkan karena tinggal di komplek masjid dan rumah tahfidz. Saya tidak menangis haru karena pekerjaan suami yang tidak ‘ngoyo‘ tetapi gaji besar, tetapi saya menangis sejadi-jadinya menyadari bahwa apa yang suami saya lakukan adalah demi menolong agama-Nya dan saya berkesempatan untuk mendukungnya. Saya betul-betul menangis, karena Allaah swt sediakan sarana-prasarana terbaik guna memanifestasikan iman saya.
Terlalu besar nikmat iman yang Allaah swt berikan hingga detik ini. Saya selalu berharap, nikmat iman itu, kemudian menjadi modal ‘menjual’ amalan untuk ‘membeli’ akhirat. Modal itu, harus ditransformasikan ke dalam amalan terbaik yang mungkin bisa kami persembahkan untuk Allaah swt. Fa biayyi alaa-i Rabbikumaa tukadzdzibaan? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
Allaahumma Yaa Muqallibal Quluub, tsabbit quluubana ‘alaa diinika wa thaa’atika wa iimaani bika…
Yaa Allaah, Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu, dan ketaatan kepada-Mu, dan keimanan kepada-Mu…

2 thoughts to “Nikmat Terbaik Allaah”

  1. Terima kasih karena telah melahirkan tulisan-tulisan yg begitu inspiratif. Saya jadi sering merenung dan bertanya pada diri sendiri setelah membaca tulisan-tulisan kakak.
    Semoga suatu saat Allah berikan kesempatan kepada saya utk bs bertemu dengan kakak 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *