Menjadi Manusia Terbaik

Judul Buku: 7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif
Pengarang: Stephen R. Covey
Penerjemah: Irma Rosalina
Penerbit: Dunamis Publishing
Tahun terbit: 2015
Jumlah halaman: xxx + 472 halaman
Genre: Pengembangan diri

Setiap manusia dilahirkan ke dunia dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Ada yang dianugerahi bakat alami untuk keahlian tertentu, ada yang beruntung lahir dari keluarga kaya, ada yang hidup dalam keterbatasan fisik, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu, diberikan oleh Allaah swt kesempatan waktu 24 jam sehari untuk berkembang. Efisiensi dan efektivitas penggunaan waktu tersebut menjadi pembeda dari masing-masing orang. Dan, buku ini adalah salah satu yang terbaik dalam menjelaskan bagaimana efektif dan efisien dalam pengembangan diri.

Saya tidak paham bagaimana cara Stephen R. Covey menyusun buku ini. Butuh berapa lama beliau merenung merumuskan materinya, bagaimana cara beliau mempraktekkannya dengan konsisten, dan bagaimana ia mengajarkan nilai-nilainya pada semua orang. Dulu, ketika awal SMA saya membacanya, saya menganggap buku ini hanya seperti buku pengembangan diri biasa. Barulah sekarang ini, ketika saya membacanya, saya sadar ada banyak hal yang terlewat, adanilai-nilai Islam yang telah lebih dahulu Rasuulullaah saw ajarkan dan contohkan kepada kita. Bahkan, selepas membacanya, saya menyimpulkan bahwa Rasuulullaah saw adalah pribadi yang palinh efektif di dunia ini. Dan seperti kata istri saya, saya menyayangkan mengapa Stephen R. Covey tidak mendapat hidayah menjadi seorang muslim. Karena jika iya, maka buku ini tentu menjadi salah satu sumber amal jariyah terbesar mengingat potensi dakwahnya yang luar biasa.

***

Buku ini menjelaskan tentang bagaimana menjadi sosok pribadi yang efektif dalam mengembangkan diri. Harapannya, kita selalu bisa berakselerasi menjadi pribadi yang lebih baik seiring waktu berjalan. Dan karena buku ini adalah soal kebiasaan, maka sejak awal Stephen R. Covey mengingatkan untuk bersegera dalam mempraktekkan dan melatih. Karena konsep membangun kebiasaan selalu dimulai dengan dipaksa, lalu terpaksa, dan menjadi biasa, hingga menjadi sebuah kebiasaan dan prinsip hidup.

Bagian pertama buku ini, Stephen R. Covey mencoba mengubah paradigma kita terlebih dahulu agar selalu melihat suatu masalah dari dalam ke luar. Beliau menjelaskan efek Pygmalion untuk menjelaskan bahwa paradigma kita menjadi lensa kita melihat dunia. Bagaimana kita melihat dunia akan menentukan bagaimana prinsip hidup kita dalam menyelesaikan masalah dan mengembangkan diri. Paradigma melihat dari dalam ke luar membuat kita secara efektif melakukan perubahan-perubahan diri ke arah yang positif sebagai penyesuaian. Dan proses ini bukanlah suatu hal yang instan dan mudah, butuh waktu dan usaha yang konsisten.

Di sinilah saya belajar, mengapa salah satu hal terpenting yang Rasuulullaah saw ajarkan setelah beriman kepada Allaah swt adalah perintah “istaqim”, istiqomah dalam keimanan. Dan proses istiqomah ini tentu bukan hal yang mudah. Bahkan, para salafus shalih menyebutnua sebagai amalan yang berat dan di sisi Allaah swt menjadi amal yang paling dicintai.

Stephen R. Covey menyebut berusaha istiqomah sebagai membangun etika prinsip. Meski begitu, hampir semua orang meninggalkan konsep ini. Kebanyakan mereka menggunakan etika kepribadian yang lebih instan dan cepat dipraktekkan untuk tujuan tertentu namun tidak terjadi internalisasi nilainya, sehingga muncul kesan menipu. Di antara yang identik dengan etika kepribadian adalah segala hal tentang jalan pintas, cara cepat hafal Al-Quran, cara cepat kaya, cara cepat merayu rekan bisnis, dan lainnya. Intinya, mereka mengajarkan keterampilan dan mengasikan internalisasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Dan begitulah konsep paradigma dari dalam ke luar bekerja. Ketika muncul kesadaran itu, maka seseorang akan rela berlatih dan berusaha untuk menginternalisasi nilai dalam membangun prinsip yang menjadi kiblatnya. Mereka memandang masalah dari dalam diri sendiri dulu baru mengubah bagian eksternalnya. Sebagaimana umat Islam menjadikan iman dan akhlak untuk membangun kapasitasnya, lalu menjadikan ilmu dan amal sebagai cara untuk menyelesaikan masalah di sekitarnya.

Sebaliknya, ketika kesadaran itu belum muncul, maka seseorang hanya menyalahkan masalah. Tidak ada perubahan diri selain hanya berpura-pura menyesuaikan dan memberi solusi. Barangkali, masalah akan selesai namun biasanya hanya yang bersifat short term dan tidak terjadi internalisasi nilai, atau yang biasa saya sebut muncul hikmah di baliknya.

***

Bagian kedua buku ini menjelaskan kebiasaan pertama yang harus dilatih untuk menjadi pribadi yang efektif. Kebiasaan pertama adalah soal menjadi Proaktif dalam kebaikan. Setiap kita, selayaknya sebagai makhluk hidup tentu akan menerima stimulus dari lingkungan kita. Dan salah satu anugerah terbesar yang diberikan kepada manusia adalah kemampuan memilih respon yang akan kita ambil setelah menerima stimulus tersebut. Kita merespon baik, respon serang-balik, atau tidak merespon sama sekali menjadi salah satu pilihan kita sesuai dengan latar belakang dan pengalaman hidup kita.

Inti dari kebiasaan menjadi proaktif adalah memunculkan kesadaran diri untuk aktif mengembangkan dan memperbaiki diri dalam merespon suatu masalah. Stephen R. Covey menjelaskan proaktif dengan dua buah lingkaran yang saling overlap. Lingkaran besar sebagai lingkaran kepedulian yang berarti stimulus yang diterima dari luar, sebagian terkontrol dan sebagaian tak terkontrol. Lingkaran yang lebih kecil di tengah sebagai Lingkaran Pengaruh, yaitu respon yang kita pilih dalam menghadapi stimulus yang diterima.

Pribadi yang proaktif senantiasa memperbesar Lingkaran Pengaruh dengan cara memperbesar kapasitas diri dan mengembangkan keterampilan untuk bisa mengendalikan Lingkaran Kepedulian. Sementara, pribadi yang reaktif senantiasa fokus pada Lingkaran Kepedulian, menyalahkan lingkungan, orang lain, dan sejenisnya yang tidak bisa mereka kendalikan. Akibatnya, masalah yang mereka rasakan bertambah berat dan kontrol atas diri mereka semakin lemah ditandai dengan mengecilnya Lingkaran Pengaruh.

Allaah swt pun dengan tegas mengingatkan di surat Ar-Ra’du, bahwa jika manusia ingin berubah nasibnya, maka ia harus proaktif memulai perubahan itu sendiri. Begitu pula Rasuulullaah saw ajarkan pada kita dalam hadits-nya, “ibda’ binafsika”, mulailah dari diri sendiri untuk merubah dunia. Jadi, daripada mengutuk kegelapan, tentu lebih baik kita berusaha menyalakan lilin.

***

Kebiasaan kedua yang diajarkan adalah tentang menjadi seseorang yang visioner. Stephen R. Covey membuat suatu konsep untuk membuat cita-cita yang visioner dengan rumus “Mulailah dengan Tujuan Akhir”. Sejak awal kita menginjak dewasa dan menjadi manusia seutuhnya dengan kemampuan berpikir dan mengambil keputusan, maka kita harus merumuskan menjadi seperti apa kita di masa depan nanti, sumbangsih apa yang akan kita berikan, dan pengingat apa yang akan kita tinggalkan.

Dalam Al-Quran, Allaah swt telah berulang kali menyebutkan pentingnya merencanakan masa depan seperti dalam surat Al-Hasyr, “(i)ttaquullaaha wal tandhur nafsun maa qaddamat lighaad”, lihatlah apa yang akan terjadi hari esok. Bahkan, kita diajarkan tidak hanya masa depan di dunia, namun jauh lebih dari itu sampai di akhirat kelak yang jauh lebih kekal. Rasuulullaah saw bahkan tak segan menyebut, orang yang sering mengingat kematian, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat adalah orang yang paling cerdas.

Meskipun sebenarnya seluruh takdir kita telah dituliskan di lauhul mahfudh oleh Allaah swt, namun manusia tetap diberikan pilihan untuk memilih jalannya masing-masing. Dengan menjadi visioner, ibaratnya kita menuliskan naskah hidup kita sendiri, memilih takdir kita menjadi apa dan bagaimana. Dan untuk itu, kita harus benar-benar menuliskan di atas kertas terlebih dahulu kisah yang akan kita jalani seumur hidup kita. Maka, setelah kita sadar dan berusaha proaktif membangun prinsip kehidupan, atau yang saya sebut dengan Iman, kita merencanakan kehidupan kita ke depan dengan landasan prinsip atau nilai-nilai keimanan kita.

Jika kita masukkan konsep Tujuh Kebiasaan ini dalam Islam, maka setelah kita sadar dan proaktif membuat persaksian dengan bersyahadat sebagai pondasi rukun Islam, kita masuk ke jenjang berikutnya, yaitu belajar aqidah. Aqidah ini akan menjadi basis bagi amalan kita sehari-hari. Dan amalan terbaik bagi mereka yang visioner dan mempersiapkan kematian dan hari esoknya adalah sholat sebagai rukun Islam yang kedua. Sebagaimana Allaah swt sebutkan dalam Al-Quran, “Dan sesungguhnya (sholat dan sabar) itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’. Yaitu orang-orang yang mengira bahwa mereka akan bertemu Rabb-nya dan mereka akan kembali kepada-Nya.”

***

Kebiasaan ketiga yang diajarkan di buku ini adalah tentang mendahulukan yang utama. Di sini, Stephen R. Covey mengajarkan cara untuk menentukan prioritas dengan menggunakan empat kuadran. Kuadran 1 adalah segala hal yang bersifat mendesak dan penting, seperti tugas yang menjelang tenggat, sakit yang butuh penanganan darurat, dan sejenisnya. Kuadran 2 adalah segala hal yang bersifat tidak mendesak namun penting seperti olahraga, menjaga pola makan, membangun hubungan baik, dan sebagainya. Kuadran 3 adalah segala hal yang bersifat mendesak namun tidak penting, seperti mengangkat telepon berdering, menggaruk sesuatu yang gatal, dan lainnya. Sedangkan Kuadran 4 adalah segala hal yang bersifat tidak mendesak dan tidak penting, seperti main game, nongkrong-nongkrong, scrolling timeline media sosial, dan aktivitas yang lebih banyak sia-sia.

Orang yang fokus pada Kuadran 1 adalah problem solver. Mereka berpacu dengan waktu menyelesaikan masalah demi masalah. Sementara orang yang fokus di Kuadran 2 adalah mereka yang preventif. Mereka meramalkan masalah yang akan terjadi dan menyelesaikan solusi sebelum masalah terjadi. Orang yang berada di Kuadran 3 adalah mereka yang salah menebang hutan. Mereka berpikir apa yang dilakukan adalah efektif dan efisien namun ternyata sebaliknya. Sementara orang yang di Kuadran 4 adalah mereka yang tertipu oleh kenikmatan dunia, terbunuh oleh waktu karena kesia-siaan yang mereka lakukan.

Terkait dengan pemilihan prioritas ini, maka Stephen R. Covey mengingatkan kita agar fokus pada Kuadran 2 dan menjadikannya sebagai paradigma kita. Sehingga kita tak perlu berkejaran dengan waktu untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada karena telah mempersiapkan dan merencanakan terlebih dahulu.

Maka, kebiasaan mendahulukan yang utama ini akan bersambung dengan dua kebiasaan sebelumnya. Setelah kita sadar pentingnya untuk berkembang dan berusaha proaktif menjadi lebih baik, kita sudah merencanakan seperti apa di masa depan dan menuliskan naskah kehidupan kita, lalu kita memilih mana yang harus diutamakan untuk dicapai dan dikuasai terlebih dahulu dalam kehidupan kita. Dengan ketiga hal ini saja, kita sudah cukup untuk muncul sebagai pribadi yang unggul.

***

Kebiasaan keempat dan seterusnya adalah soal memenangkan publik. Untuk bisa merubah dunia, maka kita tidak cukup hanya menjadi pribadi yang unggul namun juga harus memiliki masyarakat yang aktif dan sevisi. Maka, kebiasaan selanjutnya adalah soal bagaimana mengajak orang-orang di sekitar kita menjadi pribadi yang unggul. Jika kita membaca bab-bab berikutnya, kita akan banyak belajar bagaimana teori-teori dakwah agar lebih efektif.

Sebelum masuk ke bab berikutnya, Stephen R. Covey lagi-lagi berusaha mengubah paradigma kita terlebih dahulu. Jika untuk mengubah diri kita menjadi pribadi yang unggul, maka kita harus berpikir dari dalam ke luar, maka untuk membangun suatu masyarakat yang unggul, kita harus belajar dan mengajarkan paradigma kesalingtergantungan. Dan beliau menggarisbawahi, bahwa paradigma kesalingtergantungan hanya bisa dicapai oleh mereka yang memiliki kemandirian sejati dengan jiwa yang merdeka. Mereka bebas menentukan pilihan bergantung pada hal-hal yang sesuai dengan nilai dan prinsip yang mereka bangun dalam hidup mereka.

Untuk melatih paradigma tersebut, Stephen R. Covey menyebutnya dengan membuat Rekening Bank Emosi. Pada dasarnya, rekening bank emosi ini adalah setoran yang kita berikan untuk mendapatkan kepercayaan orang lain. Dan setoran terbaik adalah yang tulus ikhlas tanpa ada penipuan. Maka, disinilah pentingnya kita berlatih etika prinsip dan meninggalkan etika kepribadian yang dijelaskan di bab awal.

Ada enam setoran terbesar untuk rekening bank emosi, yaitu memahami individu seutuhnya tanpa memproyeksikan dengan diri kita, memberi kebaikan kecil yang konsisten, memenuhi janji, memberi harapan yang jelas, menunjukkan integritas pribadi, dan meminta maaf dengan tulus ketika melakukan penarikan rekening bank emosi. Sedangkan hal yang menjadi penarikan besar antara lain, berbohong, menipu, mengingkari janji, dan sejenisnya.

***

Kebiasaan keempat yang harus dilatih adalah berpikir menang-menang. Berpikir menang-menang adalah membuat keputusan yang seimbang antara keberanian dan timbang rasa dengan orang lain. Prinsip berpikir menang-menang terdiri atas lima hal. Prinsip itu dimulai dari membangun karakter memang-menang yang akan menggerakkan diri kita menjalin hubungan menang-menang. Hubungan yang terjalin erat akan melahirkan kesepakatan-kesepakatan menang-menang. Ketiga hal diatas dipupuk dan dijaga oleh sistem dan struktur yang berorientasi menang-menang serta proses perkembangannya pun juga berprinsip menang-menang.

Dalam Islam, konsep menang-menang ini layaknya berbuat ihsan. Allaah swt berfirman dalam sebuah hadits qudsi tentang ihsan, bahkan dalam hal menyembelih dan membunuh ketika peperangan yang terkesan kejam, sesorang harus berbuat ihsan. Begitu pula dalam mencari rezeki, tidak hanya halal zat namun juga halal dalam mencari, halalan thayyiban. Maka, berpikir menang-menang adalah soal berlaku ihsan pada sesama agar melahirkan maslahat umat.

Contoh terbaik praktek berpikir menang-menang ini adalah kisah Perjanjian Hudaibiyah. Bagaimana Rasuulullaah saw berusaha benar-benar memahami keinginan kaum kafir Quraisy dan dengan kecerdasannya, beliau memanfaatkannya untuk membuat penawaran yang menarik sehingga beliau bisa menjamin keamanan dakwah Islam. Mungkin terkesan Islam mengalah dan kalah besar dalam perjanjian itu, sebagaimana dipikirkan para sahabat. Namun kenyataannya, justru di sanalah peluang dakwah Islam terbuka lebar dan bebas pada seluruh manusia.

***

Kebiasaan kelima adalah tentang berusaha memahami terlebih dahulu, baru dipahami. Sebenarnya ini adalah konsep komunikasi yang bersifat empatik. Untuk mengajarkan teknik ini, Stephen R. Covey menjelaskan terlebih dahulu tingkatan teknik mendengarkan. Tingkatan pertama adalah sama sekali tak mendengarkan dan mengabaikan. Tingkatan kedua adalah kita berpura-pura mendengarkan padahal tidak. Tingkatan ketiga adalah mendengarkan hanya pada bagian yang menarik saja. Tingkatan keempat adalah mendengarkan dengan penuh perhatian atau biasa disebut mendengarkan aktif. Namun, semua itu masih belum mampu melatih teknik memahami terlebih dahulu. Untuk melatih teknik tersebut, kita harus belajar mendengarkan secara empatik

Mendengarkan secara empatik harus tepat merespon dalam empat hal. Kita harus belajar merespon untuk tepat dalam mengevaluasi antara menyetujui atau tidak, menyelidiki tanpa menggunakan kerangka autobiografi kita, menasehati sesuai dengan harapan lawan bicara, dan menafsirkan motif dan perilaku lawan bicara. Jika ada yang salah, maka akan mengurangi tingkat kepercayaan lawan bicara kita.

Saking pentingnya teknik mendengarkan ini, Rasuulullaah saw sampai ditegur langsung oleh Allaah swt karena bermuka masam dan mengabaikan Abdullaah Ibnu Ummi Maktum yang hendak masuk Islam. Saat itu, Rasuulullaah saw sedang berdakwah kepada pembesar Quraisy. Meski begitu, Allaah swt lebih tahu mana yang lebih utama, dan Allaah swt tak ridho jika Rasuulullaah saw mengabaikan yang utama tersebut. Sungguh suatu teknik dakwah yang elegan, yang diajarkan Allaah swt kepada Rasul-Nya.

***

Kebiasaan keenam yang perlu dilatih adalah soal mewujudkan sinergi. Sinergi adalah soal menjadikan sesuatu bersifat efektif dan efisien, keseluruhannya jauh lebih besar daripada jumlah bahiannya. Masing-masing komponennya saling memberdayakan, saling menyatukan, dan saling menjadi katalis. Maka, dalam konsep sinergi, satu ditambah satu hasilnya akan menjadi tiga atau bahkan lebih. Contoh mudahnya adalah pernikahan manusia, dua insan bersatu menghasilkan sebuah keluarga bahagia dengan melahirkan anak-anaknya.

Dalam Islam, sinergi adalah soal ta’aawun dalam ukhuwah. Allaah swt menjelaskan dalam surat Al-Hujuraat bahwa manusia diciptakan berbeda-beda sebagai rahmat untuk saling melengkapi dengan bersinergi. Mereka yang dianugerahi kelebihan harta membantu mereka yang dianugerahi kelebihan ilmu untuk mendanai penelitiannya. Mereka yang dianugerahi kelebihan kekuatan mengambil bagian membuat teknologi dan peralatannya.

Dan unsur terpenting dalam mewujudkan sinergi adalah komunikasi yang menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut. Untuk mencapai sinergi yang baik, maka kelima prinsip sebelumnya harus tetap dilaksanakan dan menjadi dasar pola pikir kita.

***

Kebiasaan ketujuh adalah mengasah gergaji untuk memperbaharui kapasitas diri. Mengasah gergaji adalah salah satu tindakan orang-orang dengan pola pikir di Kuadran 2 dan mendahulukan yang utama, sebagaimana yang dijelaskan di bab-bab sebelumnya. Ibarat mesin, maka harus ada waktu istirahat sejenak untuk melakukan maintenance dan pembaruan. Ada empat dimensi yang harus selalu diasah berkala, yaitu fisik, spiritual, mental, dan sosial.

Dengan selalu mengasah gergaji berkala berarti kita berusaha menjaga aset terbesar untuk menjadi pribadi unggul dan membangun masyarakat yang unggul pula. Dimensi fisik yang harus dijaga dan diperbaharui antara lain ketahanan, fleksibilitas, dan kekuatan. Cara terbaik untuk menjaganya adalah dengan olahraga rutin baik aerobik maupun non-aerobik. Dimensi spiritual yang harus dijaga adalah kelurusan niat dan penghambaan kita kepada tuhan. Cara terbaiknya adalah dengan memperbanyak ibadah, dzikir, meditasi, dan sejenisnya. Dimensi mental yang harus diperbaharui mencakup kebiasaan 1-3 yang harus dilatih setiap hari. Dimensi sosial yang harus dilatih mencakup kebiasaan 4-5 yang juga harus dilatih setiap hari.

***

Ketujuh kebiasaan yang diajarkan dalam buku ini sebenarnya sudah ada dalam kekayaan intelektual umat manusia. Stephen R. Covey pun mengakuinya dan beliau hanya mengkonsep ulang untuk memudahkan manusia memahaminya. Maka, wajar jika buku ini disepakati banyak orang karena mengajarkan kebaikan. Dan setelah saya membaca ulang, saya baru sadar bahwa ternyata Islam telah mengajarkan semuanya bahkan lebih detail dan menyeluruh dalam aspek kehidupan sehari-hari.

Meski begitu, jika tak ada buku ini, barangkali orang-orang akan kesulitan memahami dan mengajarkan nilai-nilai unggul dalam rangka membentuk pribadi yang unggul. Dan beruntungnya umat Islam adalah, kita memiliki sosok teladan terbaik dalam diri Rasuulullaah saw. Jika kita mempelajari biografi beliau, maka itu jauh lebih lengkap dan sempurna menggambarkan bagaimana sosok yang efektif. Hanya mungkin membacanya tidak sepraktis dan seenak buku ini karena harus mampu mengambil hikmah dan ilmu darinya.

Selamat membaca buku Tujuh Kebiasaan, selamat mempraktekkan, semoga bermanfaat dan membesarkan pribadi anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *