Diversifikasi Pangan

Siang itu, seperti rutinitas koass biasanya, selepas dhuhur saya langsung ke pantry bangsal untuk makan siang. Menu hari ini, ketela ungu rebus. Kebetulan pagi tadi cukup terburu-buru untuk berangkat, jadi ketela yang sedianya mau diolah lebih enak cuma jadi rebusan saja. Tiba-tiba, ada perawat yang nimbrung dan bertanya,

“Mas, kok makannya ketela? Lagi diet ya? Emang enak makan ketela doang?”

Hmmm, untuk kesekian kalinya, saya mendapatkan pertanyaan serupa. Sebelumnya, ketika saya membawa bekal makan siang kentang rebus, juga ditanya demikian. Lain waktu, saya membawa kentang goreng, telur rebus, makaroni schotel, biskuit, kurma, dan makanan tinggi karbohidrat lainnya, selalu mendapat komentar serupa. Dan respon saya juga sama,

“Nggak sedang diet, kok. Cuma diversifikasi makanan aja, biar nggak nasi-dependent.”

*****

Ya, semenjak menikah, kami memutuskan untuk membiasakan diri mendiversifikasi makanan keluarga. Mulai dari nasi, ketan, kentang, tepung/bubur, ubi, makaroni, mie, hingga kurma. Jadilah kita memiliki banyak pilihan menu makanan pokok. Kita seringkali menyesuaikan menu makanan sesuai kebutuhan.

Misalnya, butuh yang cepat, maka tinggal rebus ubi atau goreng kentang. Jika ada waktu yang lebih banyak, biasanya kita eksperimen menu dengan bubur, makaroni, hingga jagung. Kalau sedang bepergian, supaya praktis kita membawa kurma dan kismis untuk menjaga kebutuhan energi harian. Dan yang paling penting, kami selalu membawa botol minuman isi air putih supaya siap sedia saat butuh cairan tubuh.

Urusan makanan bagi kami awalnya adalah sederhana. Semuanya berubah ketika kemudian saya masuk koass karena kadang kita butuh makanan yang cepat saji namun tidak instan dan memenuhi standar gizi. Jadilah kita trial dan error berbagai menu makanan pokok di atas tadi.

Awalnya, saya sempat merasakan tidak nyaman dalam transisi pola makan tersebut. Sebagaimana orang Indonesia pada umumnya, kita cenderung merasa belum makan jika belum makan nasi. Padahal sudah makan mie, makan bubur, makan kentang goreng, dan lainnya. Hanya, karena anggapan kita makanan pokok itu nasi, maka jika belum makan nasi, itu belum makan.

Saya sering merasakan begitu, masih ingin makan padahal sudah habis dua butir kentang, atau dua buah ubi, atau seporsi makaroni schotel, dan lainnya. Ini terjadi karena mindset saya sudah di-setting sedemikian rupa sejak awal. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menyesuaikan program diversifikasi pangan keluarga.

Tujuannya apa? Sangat sederhana. Kami tidak ingin, urusan makanan menjadi masalah dalam keluarga kami, (tentang ini, sebagian pernah dibahas oleh Dek Zahra di sini). Dengan diversifikasi pangan, pilihan makanan pokok semakin banyak. Tinggal menyesuaikan selera, budget, waktu, kebutuhan gizi, dan ketersediaan. Ketika suatu saat nanti komoditi makanan pokok naik harganya, menjadi langka, atau masalah lainnya, kami siap untuk menghadapinya.

Selain itu, kami juga tidak ingin menjadi keluarga yang pilih-pilih makanan. Prinsipnya, asal makanan halal dan thayyib, diniatkan untuk menyediakan energi dalam rangka kebaikan, didahului dengan basmalah sebelum makan, memperhatikan adab ketika makan, dan ditutup dengan hamdalah, inSyaaAllaah makanan itu akan memberikan keberkahan berupa kesehatan, kecukupan gizi, dan lainnya.

Ketiga, kami tidak ingin urusan makanan menyita banyak dari waktu dan fokus kami. Jika memang bisa cepat, mudah didapat, sesuai kebutuhan gizi, kenapa harus pilih yang aneh-aneh dan ribet dalam pembuatannya. Bolehlah sekali waktu, ketika libur atau senggang, kami bereksperimen menu makanan sambil quality time dengan keluarga. Jadi, kalaupun kami berlama-lama dalam urusan makan, harus ada manfaat lain yang kita dapatkan.

Kebiasaan seperti ini kami biasakan untuk memaksimalkan prioritas waktu yang kami miliki. Saya pernah diskusi dengan seorang teman yang sangat perhatian terhadap waktunya. Dia bilang,

“Manusia ketika tidur, makan, mandi, itu ibarat mesin yang sedang under maintenance di pabrik. Proses maintenance ini tidak boleh dilewati atau bahkan dihilangkan karena akan merusak mesin atau menurunkan kualitasnya. Tapi, jangan sampai proses maintenance ini membutuhkan banyak waktu dan menghabiskan banyak sumber daya. Maka, kita harus bisa mengefektifkan dan mengefisienkan diri kita dalam mengatur hal-hal yang sifatnya maintenance performa kita. Makan, tidur, kebutuhan pribadi, liburan, itu usahakan harus berada dalam prioritas yang dikembangkan untuk efisiensinya, sehingga kita punya banyak waktu untuk mengambil peran dan beramal. Bukankah dunia ini tempat beramal untuk hari setelah kematian?”

Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan; karena sesungguhnya syetan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” Al-Baqarah 168.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *