Menjadi Pengajar Yang Pembelajar

Pernah suatu ketika saya mengisi acara di sebuah universitas ternama di Yogyakarta, saya ditanya hal yang sangat absurd. Saat itu, saya hadir bersama Dek Zahra seperti biasanya, dan kita sama-sama menunggu di ruang transit.

“Mas, kenapa setiap kali ngisi, mesti bawa istri juga sih?”

Saya agak mengernyitkan sebelah alis saya. Kalau dipikir-pikir, benar juga apa yang disampaikan orang ini. Hampir setiap kali saya mengisi, selalu saya ajak pula Dek Zahra untuk hadir. Bahkan, kalau yang acaranya berbayar, saya sampai harus minta izin panitia supaya diberikan jatah khusus. Begitu pula sebaliknya, ketika Dek Zahra mengisi, saya juga akan duduk di bangku penonton. Kecuali, kalau memang acaranya bersifat internal sesuai jenis kelamin. Salah satu dari kami akan menunggu di luar atau tidak ikut ke venue.

Pertanyaan di atas tadi menjadi menarik untuk dijawab karena tentu saya tidak sembarangan meminta Dek Zahra menemani, atau sebaliknya. Alasan alay-nya adalah, supaya semua orang selalu ingat, dimana ada Fahmi, di situ ada Zahra, dan sebaliknya. Hehe. Atau mungkin supaya lebih semangat dalam menyampaikan materi. Heuheu. Tapi bukan cuma itu saja alasannya. Setidaknya, ada 3 alasan yang saya sampaikan dulu di awal untuk membuat kesepakatan tidak tertulis ini.

Pertama, supaya terjadi transfer ilmu diantara kami. Ini adalah salah satu target utama dalam pernikahan kami. Kami ingin bahwa masing-masing tidak lagi saling melengkapi, tapi saling menguatkan. Sehingga tidak boleh ada yang tidak bisa, harus bisa walaupun masih lemah. Maka, setiap kali salah satu dari kami mengisi materi, yang lain harus ikut mendengarkan dan menimba ilmu darinya. Tidak hanya tentang materi yang disampaikan, namun juga caranya membawakan, strateginya bagaimana, dan lain sebagainya. Supaya suatu saat, yang masih lemah ilmu dan kemampuannya bisa mengejar ketertinggalan bahkan melebihinya. Inilah cara kami ber-fastabiqul khairat.

Kedua, sebagai assesor untuk evaluasi diri. Ya, manusia tak pernah lepas dari kesalahan. Termasuk ketika saya atau Dek Zahra menyampaikan materi atau mengisi acara tertentu. Maka, dengan adanya partner untuk menilai “penampilan” kami, baik itu caranya, materinya, maupun hasilnya, kami jadi bisa berbenah untuk memperbaiki sisi yang kurang.

Katakanlah, saya hari ini mendapat kesempatan mengisi acara. Pertanyaan pertama yang menjadi bahan obrolan sesaat setelah acara selesai adalah, how was my performance? Maka, Dek Zahra akan bercerita panjang lebar tentang yang sudah baik dan yang masih kurang sepanjang perjalanan. Begitu juga sebaliknya saya lakukan jika Dek Zahra yang mendapatkan kesempatan.

Alasan terakhir, adalah sebagai sarana meningkatkan kepercayaan diri, baik untuk yang mendapat kesempatan mengisi materi maupun yang mendukung hadir. Misalnya begini, saya mendapat giliran mengisi materi. Maka, saya akan mencari audiens yang mudah dikenal dan memperhatikan serius. Audiens jenis ini jelas akan meningkatkan kepercayaan diri dalam menyampaikan materi karena kita merasa dihargai. Maka, kehadiran orang yang kita kenal dalam sebuah forum dan banyaknya audiens yang fokus mendengarkan akan berbanding lurus dengan kenyamanan dan kepercayaan diri pemateri. Improvisasi yang dihasilkan pun akan sangat bagus dan tidak terkesan salah tingkah atau kebingungan.

Sementara maksud menambah kepercayaan diri partner yang mendukung, dalam hal ini Dek Zahra, adalah memperkenalkan kepada audiens atau panitia. Hal yang selalu saya lakukan sebelum atau sesudah mengisi acara dan bersama Dek Zahra, saya akan memperkenalkan dan mempromosikan Dek Zahra pada panitia. Biasanya, saya menyebutkan namanya sebagai contoh, untuk membuat pencitraan, atau memperkenalkan langsung ketika mukaddimah. Misalnya,

“Alhamdulillaah, saya senang sekali bisa hadir di sini bersama istri, partner terbaik, rival terbaik, dan….”

Tujuannya adalah agar orang banyak yang kenal dengan Dek Zahra dan mengetahui kapasitasnya. Suatu saat, mereka pasti akan memberikan kepercayaan padanya saat membutuhkan bantuan yang kami mampu. Tentu, ini menjadi kesempatan untuk berlatih yang mahal harganya. Dan tidak adalah latihan yang lebih baik selain terjun langsung. Sehingga, dengan saling memperkenalkan partner kita, akan semakin banyak kesempatan yang bisa kita dapatkan untuk berlatih dan ber-fastabiqul khairat.

Selain itu, dengan mengajak Dek Zahra ikut mengisi, tak jarang kami juga bisa bertemu dan berkenalan dengan pembicara atau pemateri lain. Jelas mereka bukan orang sembarangan, bahkan kadang pun juga mereka menjadi audiens dan bersedia mendengarkan ocehan kami. Dan yang selalu saya syukuri, sering dalam forum bersama seperti ini, kami adalah orang-orang yang paling muda. Sehingga, sarana untuk belajar dan menimba ilmu langsung dari para guru-guru yang kami temui ketika mengisi acara adalah sebuah bonus luar biasa yang kami dapatkan. Begitu pula dengan jaringan yang kami bangun setelahnya lewat silaturrahmi rutin.

Maka, sebenarnya ketika kami mendapatkan kesempatan mengisi materi untuk berbagi, sebenarnya kami sangat berterima kasih dan bersyukur mendapatkan kesempatan untuk belajar. Belajar menyampaikan materi, belajar dari orang yang lebih berilmu dari kami, dan belajar menangkap hikmah dari setiap kejadian yang Allaah swt tunjukkan pada kami. Sungguh, benar-benar sebuah kenikmatan besar yang Allaah swt berikan dan menjadi kewajiban kami untuk terus mensyukurinya.

Allaahumma (i)j’alnaa minal ladziina taqabbalta a’maalahum, wa tajaawazta ‘an sayyiaatihim…
Allaahumma (i)j’alnaa minal ladziina yastami’uunal qaula wa yaqrauunal kitaaba wa yata’allamuunal ‘ilma fa yattabi’uuna ahsanahu…

One thought to “Menjadi Pengajar Yang Pembelajar”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *