Kelemahan yang Melemahkan

Setiap orang dibekali dengan kekuatan dan kelemahan. Kuat di A, tapi lemah sekali untuk hal B. Yang lain lagi, kuat sekali di B, tapi perkara A ia sangat payah. Atas sunatullaah ini, Allaah beri salah satu solusinya dengan pernikahan.

Bersatunya dua insan berarti bersatunya pula kekuatan dan kelemahannya. Beberapa hal mungkin sama-sama kuat, beberapa sama-sama lemah, atau salah satu kuat sedang lainnya lemah. Melalui pernikahan, ada kekuatan yang semakin berlipat. Ada pula kelemahan yang lama-lama berubah menjadi kekuatan. Sayangnya, tidak menutup kemungkinan ada kelemahan yang justru menjadi semakin lemah dan malah melemahkan.

Somehow, yang terakhir itu, terjadi juga di keluarga kami.


Saya tidak terbiasa mengerjakan pekerjaan domestik sejak kecil. Pekerjaan beres-beres rumah adalah hal yang seringkali saya hindari. Salah satu akibatnya, standar kerapihan dan kebersihan saya rendah sekali. Sesuatu yang sudah saya anggap rapi dan bersih, seringkali masih dianggap berantakan dan kotor bagi orang lain.

Atas kelemahan saya ini, Allaah berikan solusi berupa kekuatan Mas Fahmi di pekerjaan domestik. Ia sangat luwes mengerjakan segala jenis pekerjaan domestik. Dari pekerjaan sesepele melipat baju hingga mendesain ruangan, Mas Fahmi punya tips dan triknya. Standar kerapihan dan kebersihannya pun amat tinggi. Hingga tiap kali saya selesai beberes, di mata Mas Fahmi, saya hampir seperti tidak melakukan apapun.

Dulu, Mas Fahmi selalu cerewet masalah domestik. Harus begini dan begitu. Semua sesuai standar dan caranya. Tapi seiring waktu berlalu, kami semua lelah. Mas Fahmi lelah “cerewet”, saya lelah mengikuti standarnya. Hingga akhirnya, Mas Fahmi melemah dan tidak lagi menuntut banyak.


Saya sering susah untuk mulai tidur. Harus “merem” agak lama supaya benar-benar bisa tidur. Sekalinya tidur, jadi mudah bangun. Sebuah kerugian bagi saya, tapi menjadi kekuatan manakala harus bangun cepat.

Kebalikan dengan Mas Fahmi, ia mudah sekali tidur. Baru beberapa detik “merem”, sudah pulas seperti sudah tidur lama sekali. Masalahnya, kalau sudah tidur, Mas Fahmi susah sekali dibangunkan. Bahkan beberapa kali terlewat shalat jama’ah di masjid karena merasa “tidak dibangunkan” padahal sudah dibangunkan berkali-kali.

Lelah menghadapi kelemahan Mas Fahmi ini, akhirnya membuat saya melakukan hal serupa. Pikir saya, kalau Mas Fahmi saja bisa tidur sampai terlewat jama’ah di masjid, kenapa saya harus cepat bangun kalau dibangunkan? Akhirnya saya melemah. Menunda-nunda bangun kalau dibangunkan. Ngomel-ngomel karena merasa diganggu tidurnya.


Merefleksikan kedua kasus di atas, saya teringat tafsir surat As- Syams yang pernah saya tulis di sini. Bahwa, Allaah menginstal sifat taqwa dan fujur sekaligus dalam diri manusia. Dua sifat yang berkebalikan, tapi disatukan dalam satu raga.

Inilah kemudian, yang membuat manusia begitu istimewa. Ia bisa memilih menjadi “taqwa” atau “fujur” dalam tiap-tiap ujian yang disodorkan padanya.

Pun begitu dalam kehidupan berrumahtangga. Suami punya taqwa dan fujurnya sendiri, istri punya taqwa dan fujurnya sendiri. Nah, mestinya, ketika muncul fujurnya suami, itu menjadi jalan taqwanya istri. Ketika muncul fujurnya istri, semestinya menjadi sarana untuk meningkatkan taqwanya suami.

Ketika Mas Fahmi mendapati kebersihan rumah tidak sesuai standarnya, ada dua pilihan baginya. Bersabar dan terus berusaha mendidik saya untuk meningkatkan kebersihan dan kerapihan, atau marah-marah atau justru masa bodoh kalau rumah kurang bersih atau rapi. Pastinya, pilihan pertamalah yang paling baik, yang paling dekat dengan taqwa.

Ketika Mas Fahmi susah dibangunkan, ada dua pilihan bagi saya. Bersabar, mendoakan, dan terus berusaha membangunkan dengan lembut, atau justru marah-marah dan melakukan hal yang serupa. Pastinya, pilihan pertamalah yang paling baik, yang paling dekat dengan taqwa.

Tapi sungguh, kedua pilihan terbaik pada kedua kasus tersebut begitu ringan di bibir, tapi berat dilakukan. Sedangkan pilihan “fujur” mudah sekali untuk dilakukan. Tapi konsekuensi di baliknya sungguh berat karena menimbulkan efek berlipat.

Kenapa begitu? Karena seperti perkataan Ibnu Abbas,

“Wahai pelaku dosa, janganlah merasa aman dari jeleknya akibat dosa, karena dosa yang lebih besar bisa jadi mengiringinya/mengikutinya, lebih besar dari dosa yang telah engkau lakukan (sekarang).”

Jika perilaku fujur diibaratkan tanda negatif, sedangkan taqwa diibaratkan tanda positif. Maka, jika telah berlaku negatif, untuk menjadikannya 0 atau positif diperlukan penambahan. Sedangkan jika sudah negatif, ditambah negatif, negatifnya akan semakin banyak. Apalagi jika setiap negatif selalu ditimpali dengan negatif tanpa penambahan sekali, akumulasi negatifnya akan lebih banyak lagi.

Jika setiap kelemahan pasangan dihadapi dengan kemarahan, caci maki, ketidaksabaran, atau perilaku yang sama negatifnya, efeknya tidak hanya menyebabkan kelemahan itu menjadi semakin lemah. Tapi juga menyebabkan lemahnya “ketaqwaan” diri kita. Belum lagi efek yang lain seperti hilangnya ketenangan hati, ketentraman ketika berada di rumah, terganggunya konsentrasi saat bekerja di kantor, terganggunya anak-anak, dan efek buruk lain yang mungkin terjadi.


Untuk itu, penting sekali untuk “being mindful” dalam menjalani setiap peran. Kita perlu selalu sadar, bahwa kelemahan apapun yang dibawa pasangan adalah sebuah ujian dan bahkan kebaikan. Pastikan setiap kelemahan pasangan menjadi sarana kita untuk meningkatkan kesabaran dan menjadi peluang kebaikan yang kekal pahalanya di sisi Allaah. Seperti yang Allaah firmankan,

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
(Al-Baqarah: 216)


Semoga Allaah senantiasa jaga kita dalam jalan taqwa-Nya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *